Jumat, 16 Desember 2011

Daftar yang Pengen Aku Perpanjang

Pendakian

1. Gunung Merbabu jalur Wekas, Mei 2007



2. Gunung Merbabu jalur Selo, 8-9 Desember 2007



3. Gunung Lawu jalur Cemoro Sewu, Januari 2010




4. Gunung Merbabu jalur Wekas, 26-27 Feb 2010


5. Gunung Merbabu jalur Wekas, 19-20 Maret 2010



6. Gunung Sindoro jalur Kledung, Januari 2011





7. Gunung Lawu jalur Cetho, 25-27 November 2011




8. Gunung Merapi jalur Selo, 10-11 Des 2011






9. Pendakian Gunung Rinjani naik jalur Senaru turun jalur Sembalun April 2013
















Rabu, 02 November 2011

Keterbatasan

"Keterbatasan" kata yang sering banget aku denger waktu masih kecil, waktu aku belum benar-benar mengerti makna kata itu. Waktu aku masih kecil, papaku sering bilang "yang toleran sama orang lain, karena kita tidak pernah tau keterbatasan yang dimiliki orang lain." Kata "keterbatasan" menggelitik kupingku sejak pertama kali mendengarnya dan termasuk kata yang cukup berkesan buat aku. Sekarang aku baru sadar kalau "keterbatasan" memiliki cakupan yang tak terbatas. Sesuatu diluar batas kemampuan kita adalah "keterbatasan". Dan sesuatu diluar batas kemampuan kita itu begitu banyaknya hingga "tak terbatas". Dan ketika kita mampu mendapatkan sesuatu yang tadinya merupakan "keterbatasan" yang kita miliki, tentunya juga seiring dengan kehilangan sesuatu yang tadinya merupakan hal yang termasuk dalam koridor batas kemampuan kita. "Keterbatasan" sangat manusiawi! "Keterbatasan" merupakan label yang melekat erat pada manusia, tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki "keterbatasan". Karena "keterbatasan" tidak pernah dapat terkontrol 100 persen. Tetapi tidak ada salahnya kalau kita berjuang meminimalkan "keterbatasan" yang kita miliki. Ya, berjuang menerjang "keterbatasan" dan ketidakmungkinan yang ada di depan mata.

*Backpacking mungkin bisa berlaku buat orang-orang yang selalu berusaha meminimalkan "keterbatasan". Duit cekak kan juga termasuk salah satu "keterbatasan"! haha

Senin, 12 September 2011

Pantai Jungwok


PANTAI JUNGWOK, MARET 2010
Pertama kali saya ke pantai Jungwok saat saya sedang demam pantai banget. Gimana nggak??dalam empat hari berturut-turut saya ke pantai yang berbeda-beda di daerah Gunung Kidul. Hari pertama ke pantai Ngobaran, pantai Nguyahan, dan pantai Ngrenehan. Hari kedua saya ke pantai Baron, pantai Kukup, pantai Krakal, Pantai Sepanjang, dan pantai Sundak. Hari ketiga saya ke pantai Drini. Hari keempat saya ke pantai Jungwok, puas deh hehe. Puas juga liat tan line saya yang berbatas tegas, haha. Saya ke pantai Jungwok bareng keempat teman saya, yaitu Ruri, Nono, Sisca, dan Revi dengan memakai mobil Ruri. Kami tau pantai Jungwok hasil dari googling gitu, dan berhubung kami belum pernah kesana dan tampaknya pantainya masih virgin, maka kami langsung kesana, hehe.
Pantai Jungwok terletak di sebelah timur pantai Wedi Ombo. Kendaraan hanya bisa dibawa sampai pantai Wedi Ombo. Setelah memarkir mobil di pantai Wedi Ombo, perjalanan dilanjutkan dengan trekking kearah timur pantai Wedi Ombo. Setelah trekking ±30 menit melewati ladang-ladang dan sawah penduduk, sampailah kami di pantai Jungwok. Sebenarnya kalau trekking dengan kecepatan normal (a.k.a tidak sering berhenti untuk istirahat) dapat ditempuh dalam waktu ±15 menit, tetapi karena saya sedang bepergian dengan orang-orang yang jarang trekking sehingga menghabiskan waktu 30 menit, hehe.

Foto 1. Jalur trekking menuju pantai Jungwok melewati sawah-sawah
Pantai Jungwok memang tidak terlalu besar, tapi menurut saya recommended untuk yang pengen ngerasain pantai pribadi, hehe. Sebaiknya kalau mau ke berkunjung ke pantai Jungwok lagi harus bawa bekal makanan, karena di pantai ini tidak ada satu pun penjual makanan dan minuman. Yang paling khas dari pantai Jungwok adalah tebing karang di tengah pantai yang dinamai “Watu Topi”, mungkin karena bentuknya menyerupai topi. Di pantai ini kami menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengeksplor setiap sudut pantai Jungwok dan tentunya berfoto-foto, haha. Saat itu air sedang surut, sehingga kami dapat mengekplor pantai hingga agak ke tengah (kearah Watu Topi). Setelah berjam-jam di pantai ini kami kehausan dan kelaparan karena sama sekali tidak membawa bekal, akhirnya kami memutuskan untuk pulang dengan sisa tenaga yang ada (lebay!). Sesampainya di pantai Wedi Ombo kami langsung membeli minum di warung-warung yang ada di sepanjang pantai Wedi Ombo. Sebenarnya kami juga sangat lapar, tapi kami memutuskan untuk makan di pantai Siung yang terletak di sebelah barat pantai Wedi Ombo. Dari pantai Wedi Ombo menuju Pantai Siung dapat ditempuh menggunakan kendaraan dengan melalui jalan beraspal (±30 menit), meskipun jauh harus ke pantai Siung dulu untuk makan, tapi kami punya langganan warung makan disana, hehe. 

 Foto 2. Pantai Jungwok saat surut (sebelah kiri: Revi, tengah: saya, kanan: Sisca)


 Foto 3. Pasir putih pantai Jungwok (sebelah kiri: saya, tengah: Sisca, kanan: Nono)

Foto 4. Salah satu batu karang di pantai Jungwok

Foto 5. Batu-batu karang dan "Watu Topi" pantai Jungwok

Foto 6. "Watu topi" pantai Jungwok



PANTAI JUNGWOK, SEPTEMBER 2010

Setelah Lebaran tahun 2010, saya ke pantai Jungwok untuk kedua kalinya. Sebenarnya saya berencana ke pantai ini dengan teman-teman traveling saya yang tergabung dengan nama MaPaTuTi (hehe). Karena banyak yang nggak bisa, akhirnya kami ke pantai ini cuma berempat (saya, Ifa, Dika, Erry). Pantai ini bukan merupakan satu-satunya tujuan pada perjalanan kami, karena kami juga berencana mengunjungi museum Karst, dan Kalisuci yang juga terletak di Kabupaten Gunung Kidul. Kami memang berencana ngecamp di pantai ini, sehingga kami sudah membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan.
Kami berangkat dari Jogja sudah sore, sehingga kami sampai di pantai Wedi Ombo setelah maghrib. Setelah sholat maghrib kami tetap lanjut trekking ke pantai Jungwok melalui ladang-ladang, tentunya dengan bantuan senter. Ketika ambir sampai pantai tersebut, kami mencari tempat yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda. Akhirnya kami dapat tempat yang lumayan bagus untuk mendirikan tenda, yaitu disamping ladang jagung gitu. Dari tempat kami mendirikan tenda agak bau tahi sapi, tapi siapa yang mikir kalau di tempat yang tidak ada rumah penduduk itu bisa ada sapi. Setelah mendirikan tenda, kami makan malam (tanpa memasak, karena kami sudah beli nasi bungkus dari Jogja, hehe). Akhirnya malam itu pun kami habiskan dengan bercengkerama, bercanda-canda, sampai mendiskusikan masalah serius (huaaaa, merindukan moment seperti itu lagi). Saya ingat waktu itu saya memutuskan untuk tidur setelah jam 3.30 pagi, namun Ifa, Dika, Erry satu-persatu sudah tidur duluan. 


 Foto 7. Lokasi mendirikan tenda yang berdekatan dengan ladang (sebelah kiri: Ifa, tengah: saya, kanan: Erry)


Saya terbangun jam 4.30an pagi (ternyata saya cuma tidur sekitar 1 jam), lalu saya sholat subuh dan setelah itu membangunkan Ifa, Dika, Erry untuk sholat subuh (dan itu bukan pekerjaan yang mudah, haha). Ketika langit sudah terang, akhirnya terjawab sudah pertanyaan semalam “dimanakah ada sapi?”. Ternyata tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda, ada sebuah gubug kecil yang ada sapinya. Rupanya itu memang rumah salah penduduk, tetapi bukan rumah permanen, mungkin hanya rumah singgah gitu. Mungkin semalam kami memang tidak memperhatikan keberadaan gubug tersebut karena gelap gitu, jadi kami hanya fokus dengan jalan setapak yang kami lalui.
Kami berencana menikmati pantai Jungwok sampai jam 08.00 pagi saja, setelah itu kami harus sudah selesai packing dan start berangkat ke Museum Karst jam 09.00. 
 Foto 8. Pantai Jungwok saat pasang (sebelah kiri: Adel, tengah: Erry, kanan: Ifa)

Foto 9. Apa ya judulnya??? Dika lagi kebingungan di pantai (hahaha)

Saat pulang kami sempat melewati gubug yang ada sapinya, dan ternyata memang ada 2 penghuninya (suami-istri). Dua penghuni gubug tersebut merupakan penduduk asli desa dekat pantai Jungwok (tapi saya lupa nama desanya). Bapak dan ibu yang ada di gubug tersebut menawari kami untuk mampir, tapi mengingat kami masih ada tujuan lagi, kami pun menolak.

PANTAI JUNGWOK, NOVEMBER 2010
Meskipun bulan September 2010 saya baru saja ke pantai Jungwok, namun bulan November 2010 pun saya kesana lagi. Seharusnya ke pantai Jungwok pada bulan September itu bareng MapaTuTi gitu, tapi karena masih banyak yang belum pulang dari mudik, akhirnya cuma berempat. Akibatnya pada bulan November pun saya harus mengantar salah satu teman MapaTuTi, yaitu Sandhi yang waktu itu nggak ikut ke pantai Jungwok. Sandhi jadi pengen ke pante Jungwok karena memang dia suka pantai dan hasil iming-iming dari saya yang menceritakan bahwa pantai Jungwok ok banget, haha. Saya sih seneng-seneng aja kesana lagi, secara saya punya prinsip “lebih baik ke satu tempat berulang-ulang daripada tidak maen sama sekali”. Memang prinsip yang aneh ya, haha.
Saya Cuma berdua dengan Sandhi ke pantai Jungwok, tentunya dengan mengendarai motor. Kira-kira waktu itu berangkat dari Jogja pagi hari gitu. Sebelum berangkat, kami pun sarapan dulu di Jogja. Kami sampai di pantai Wediombo siang hari, dan kami pun langsung melanjutkan trekking ke pantai Jungwok. Sesampainya di pantai Jungwok, ternyata hanya kami berdua yang ada di pantai itu (yeyyy!!!). Seperti biasa Sandhi pun sibuk cibang-cibung di pantai. Ketika saya ke pantai ini bareng Sandhi, pantai sedang pasang. Sehingga saya mendapatkan kesan yang berbeda dari pantai ini, meskipun saya sudah pernah kesini. Sayangnya malam sebelumnya saya hampir sama sekali tidak tidur, akibatnya saya ngantuk berat. Saya pun mencari tempat teduh di pinggir pantai, dan saya menemukan tempat yang lumayan teduh dan bisa buat merebahkan badan saya. Dengan berbantalkan jaket pun saya mampu tertidur pulas, haha. Kalau udah ngantuk banget, beralaskan bumi dan beratapkan langit pun saya bisa tidur pulas, haha.
Ternyata saat saya sedang tidur, Sandhi memfoto-foto saya,,,huaaaahaha!. Setelah bangun tidur dan merasa badang sudah segar, saya bergabung dengan Sandhi cibang-cibung menikmati pantai Jungwok dengan ciri khas watu topinya itu. Setelah cibang-cibung dan foto-foto, kami pun merasa lapar. Akhirnya kami memutuskan untuk makan di pantai Siung. Kami pun bergegas pulang ke pantai Wediombo dulu untuk mengambil motor dan segera ke pantai Siung.
Sesampainya di pantai Siung, kami langsung menuju warung langganan kami. Kami makan nasi putih, sayur oseng, dan ikan goreng. Menurut saya masakan yang enak dari warung ini justru sayur osengnya, hehe. Makan siang pun terlambat menjadi makan sore. Saking laparnya saya pun sangat lahap menghabiskan porsi makanan yang lumayan banyak, bonus saya kelolotan duri ikan (haha). Sandhi pun menertawakan saya, karena duri ikan yang nyangkut di tenggorokan saya ternyata gede banget. Kalau nggak karena kelaparan, kan mustahil banget duri segede itu bisa ketelen, haha. Bayangkan, duri ikan itu cukup tebal dan kira-kira mempunyai panjang 3 cm (hahahaha). Tapi setelah menertawai saya habis-habisan, Sandhi pun menduduki sendok sampai patah!. Tentu saja gentian saya yang ketawa ngakak, hahahahaha.
Selain warung itu sayur osengnya enak, juga harganya relatif murah. Setelah kenyang dan membayar makanan yang telah kami makan, kami pun bergegas pulang ke Jogja. Sesampainya di Jogja, hari sudah gelap.
Menurut saya, yang istimewa dari pantai Jungwok adalah perjalanan ke pantai ini harus trekking terlebih dahulu, keistimewaan lainnya adalah karena pantai ini masih sangat sepi. Seringkali saya merasa akan mendapatkan pengalaman dan kesan yang berbeda, meskipun ke tempat yang sama berulang kali (^_^).

Senin, 30 Mei 2011

Dieng Plateau

DIENG PLATEAU, Agustus 2009

Dataran tinggi Dieng terletak sebagian di kota Wonosobo dan sebagian lagi di kota Banjarnegara. Dua tahun yang lalu, kami berenam (AdeL, Sandhi, Ifa, Dika, Irma, dan Wachid) berangkat ke Dieng dalam rangka liburan Agustusan (libur tgl 17 Agustus). Seperti biasa saya hanya berbekalkan duit ngepas, perlengkapan pribadi, dan peta wisata hasil download (hehe). Kami ini (merasa) backpacker, maka kami memilih alternatif kendaraan yang paling murah. Tidak lain, tidak bukan kami memilih menempuh perjalanan dengan bermotor karena itulah alternatif yang paling murah, hehe. Rute perjalanan ke Dieng dari Jogja kami tempuh melalui Jogja-Magelang-Temanggung-Wonosobo (belakangan kami tau ternyata perjalanan ke Dieng dapat juga ditempuh dengan rute Jogja-Magelang-Wonosobo). Di tengah perjalanan kami berhenti sejenak di pom bensin untuk mengisi bensin dan seperti biasa sekalian nebeng toilet. Di pom bensin yang saya lupa tepatnya dimana (pokoknya setelah kota Temanggung tetapi sebelum kota Wonosobo) kami bertemu dengan teman bersama rombongannya satu mobil gitu. Trus ternyata mereka juga akan menuju Dieng, lalu mereka bilang kami hebat naik motor dari Jogja. Mereka kaget karena kami pakai rute Jogja-Magelang-Temanggung-Wonosobo, karena rute yang mereka tempuh adalah Jogja-Magelang-Wonosobo (tanpa Temanggung, hehe). Ternyata mereka lewat dari arah Jogja belok kiri (arah Borobudur), sedangkan kami tetap lurus dan menuju kota Temanggung. Sewaktu kecil saya pernah berwisata ke Dieng bersama keluarga, dan yang saya ingat di wilayah dataran tinggi Dieng terdapat banyak tempat wisata (ada kawah, telaga, dan candi-candi gitu) yang letaknya berdekatan.


TUK BIMO LUKAR

Pertama kali menginjakkan kaki di kawasan dataran tinggi Dieng (lebih tepatnya lagi ban motor kami yang menjejakkan dirinya di aspal jalan kawasan Dieng Plateau, haha!), kami memutuskan menuju ke Tuk Bimo Lukar. Kenapa kami memutuskan menuju Tuk Bimo Lukar terlebih dahulu karena dari peta wisata pegangan saya, tempat itulah yang terdekat dari posisi kami saat itu. Sambil saya menjelajah ingatan saya, wisata keluarga ke Dieng sewaktu saya kecil tidak mengunjungi Tuk Bimo Lukar, jadi saya sekalian kepengen tau (hehe). Deskripsi dari peta wisata sih tempat ini merupakan mata air bla bla bla (saya sudah lupa, hehe). Tidak ada tempat parkir di lokasi Tuk Bimo Lukar, dan akhirnya motor-motor kami parkir di pinggir jalan. Kemudian kami jalan kaki menuju Tuk Bimo Lukar sesuai arah panah yang kami baca di pinggir jalan tadi. Tidak lama kami berjalan, sampailah kami di tempat yang terdapat beberapa pancuran dan saat itu sedang ada beberapa penduduk yang sedang mencuci pakaian. Lalu kami bertanya kepada salah satu penduduk, dimanakah letak Tuk Bimo Lukar dan……………jawabannya “ya inilah Tuk Bimo Lukar”. Pengennya excited dengan tempat ini, tapi kalo excited yang dibuat-buat kan namanya tidak tulus, huhu. Tapi jujur sebenarnya saya tidak suka kalau menyadari saya tidak menyukai tempat wisata yang saya kunjungi (ribet banget kan). Yah intinya saya (pengen selalu) beranggapan bahwa semua tempat wisata memiliki sejarah dan keindahannya masing-masing, sehingga tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Akhirnya kami cuma berfoto di plang yang bertuliskan “Cagar Budaya Tuk Bimo Lukar” (kalau tidak salah ingat). Setelah itu kami melanjutkan menuju lokasi wisata yang lain, dan kami memutuskan menuju ke Telaga Warna terlebih dahulu.

TELAGA WARNA

Kalau dari deskripsi peta wisata, kawasan Telaga Warna ini di dalamnya ada beberapa tempat wisata yaitu, Telaga Warna, Goa Semar, Dieng Plateau Theater, dll (kayaknya masih ada lagi, tapi saya lupa). Di depan kawasan telaga Warna terdapat loket pembelian karcis gitu (note: meskipun seringkali jalan-jalan dengan budget minim, tapi saya paling rela membeli karcis masuk atau bayar retribusi mengingat untuk tujuan pemeliharaan, yang penting harga tiket atau biaya retribusinya masuk akal lah,,,hehe). Dengan membayar 5 ribu rupiah ke loket Telaga Warna, lalu kami diberi karcis. Tidak lama berjalan dari pintu masuk langsung terlihat hamparan danau dengan warna hijau muda (torquois pucat gitu) dengan background bukit-bukit. Waaaaa, bagus deh pokoknya! Kami berfoto-foto di dekat danau itu. Di pinggir dekat Telaga tersebut terdapat jalan setapak (paving block). Tentu saja tidak lupa kami berfoto-foto bergantian di tempat itu, sebelum akhirnya melanjutkan menyusuri jalan setapak. 

 @Depan loket Telaga Warna (dari kiri ke kanan: Saya, Sandhi, Ifa, Dika, Wachid)

Jalan setapak di pinggir Telaga Warna (kiri: Ifa, kanan: Dika)

 @Telaga Warna (dari depan ke belakang Saya, Irma, Ifa, Sandhi)

@Telaga Warna (dari kiri ke kanan: Ifa, Saya, Dika, Sandhi, Irma)

Saat menyusuri jalan setapak kami bertemu lagi dengan 1 rombongan teman kami tadi tetapi dengan seorang ibu-ibu yang kami sangka model foto (karena teman kami tersebut hobi fotografi). Sebenarnya kami juga ngerasa janggal, masa’ iya bawa model foto yang sampai dandan banget gitu ke Dieng, dan tadi pas ketemu di pom bensin kok si ibu nggak ada. Pas lagi asyik-asyiknya kami ngobrol sambil ketawa-ketawa, si ibu itu bergabung dengan kami. Akhirnya kami melanjutkan jalan-jalan di kawasan Telaga Warna tersebut sambil mendengarkan cerita si ibu tentang sejarah Telaga Warna, Goa Semar, dll. Cerita si Ibu agak mistis gitu, selain itu si ibu juga meramal kami. Kalau tidak salah ingat isi ramalan si Ibu itu adalah:
- “saya orang yang sederhana” (mungkin hal tersebut dapat dinilai dari sandal jepit swallow warna kuning yang saya pakai dan HP Nokia 2100 yang saat itu masih saya pakai).
-“Irma dibilang pintar masak” (maap aja ya, padahal dalam hal masak-memasak kan Irma parah banget, hehe).

-“Sandhi dibilang nggak terlalu bisa masak” (padahal dalam hal masak-memasak kan Sandhi paling mending diantara kami).
-“Ifa dibilang lagi patah hati” (padahal Ifa habis jadian sama Dika).
-Dan ramalan2 lain tentang masa depan kami.
Setelah itu si Ibu meminta bayaran seikhlasnya (yang kata si Ibu biasanya dia dibayar 50 ribu), dan kami baru sadar kalau mungkin sebenernya si Ibu itu adalah seorang guide, bukan model foto teman kami tadi, hehe. 
Menjelang sore ketika kami memutuskan keluar dari kawasan Telaga Warna dan mencari penginapan. Akhirnya kami berhenti di sebuah penginapan yang berharga 350 ribu/malam, dengan harga semahal itu memang kamarnya yang luas dan sudah ada beberapa bed, serta bersih. Jangan kira kami memutuskan kami menginap di tempat tersebut, tentu saja tidak…hehe, tentu saja karena harga kurang cocok di kantong. Lalu kami ke penginapan di sebelahnya yang saat itu tampak rame (karena ada rombongan geng motor yang menginap di situ). Setelah tanya harganya, memang jauh lebih murah (tetapi saya lupa si Ibu penginapan menawarkan harga berapa). Pokoknya setelah proses tawar-menawar yang alot, akhirnya (mungkin karena si Ibu penginapan kasian) kami deal  dengan harga 50 ribu/malam dengan 2 single bed yang akan diisi kami berenam, kamar mandi luar, dan tanpa sarapan. Saat proses tawar-menawar yang alot tersebut si Ibu penginapan sempat bilang ke kami “ora ndhuwe duit kok plesir!”. Kalimat tersebut sampai sekarang merupakan kalimat andalan dan masih sering kami lontarkan sebagai joke. Buat saya secara pribadi, kalimat tersebut merupakan kalimat sakti, yang ketika mengingatnya saja membuat saya seperti tercambuk harus berusaha bisa plesir terus, hahaha (suka deh, suka deh, suka deh,,,jadi pengen cium si Ibu penginapan :p).
Setelah menaruh carrier dan ransel kami di penginapan, menjelang maghrib kami menuju Kawah Sileri dengan mengendarai motor kami. Ketika akan keluar penginapan, kebetulan rombongan geng motor yang juga menginap di penginapan tersebut akan jalan-jalan sore di sekitar penginapan. Setelah berkenalan satu sama lain, sambil bercanda saya iseng nyeletuk “Geng motor kok jalan kaki!”. Lalu salah satu mereka juga menimpali dengan bilang pada kami “Backpacker kok naek motor!”, dan kami pun ketawa ngakak berbarengan! :D.

KAWAH SILERI

@Gardu Pandang Kawah Sileri (dari kiri ke kanan: Wachid, Irma, Saya, Ifa, Dika)


Karena sudah hampir maghrib kami sampai di Kawah Sileri, kami memutuskan tidak turun kebawah untuk melihat kawah dari dekat. Akhirnya kami hanya foto-foto di gardu pandangnya saja.

Keesokan harinya kami memutuskan mengunjungi beberapa objek wisata di dekat penginapan dengan jalan kaki. Objek wisata yang kami kunjungi adalah Komplek Candi Arjuna, dan Kawah Sikidang.

KOMPLEK CANDI ARJUNA
       Sebelum masuk ke Komplek Candi Arjuna, terdapat tempat parkir yang cukup luas yang dipinggir-pinggirnya terdapat kios-kios yang berjualan oleh-oleh khas Dieng (Carica, Purwaceng, keripik-keripik, dll), Soeharto Witlem Meeting House, serta terdapat mushola. Sebelumnya kami mencicipi aneka keripik di kios-kios yang jualan oleh-oleh khas Dieng, sampai akhirnya memutuskan hanya membeli 1 bungkus keripik untuk teman kami. Komplek Candi ini terdiri dari beberapa candi yang masing-masing mempunyai nama sendiri-sendiri, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, dll. Kalau biasanya ketika berwisata ke Candi Borobudur atau Candi Prambanan kita kepanasan, tetapi kalau di Dieng berwisata candi dengan udara yang sejuk (dataran tinggi gitu lho! Hehe). Eh tapi kalo ke Candi Sukuh dan Candi Cetho juga sejuk ding, kan di lereng Gunung Lawu, hehe. Di sini kami jalan-jalan mengelilingi beberapa candi dan tentu saja foto-foto.


@Komplek Candi Arjuna (kiri: Saya, kanan: Ifa)

Salah satu Candi di Komplek Candi Arjuna (tapi saya lupa yang ini namanya Candi apa)


KAWAH SIKIDANG
    Kami memang tidak lama berada di Kawah Sikidang, hanya melihat-lihat sebentar dan tentunya foto-foto, hehe. Yang saya ingat saat berada di kawasan Kawah ini ada yang berjualan batu-batuan sulfur gitu. Katanya batu-batu sulfur itu berkhasiat mengobati penyakit kulit, tetapi kurang tau juga gimana cara pake batu itu, hehe. 
 @Kawah Sikidang (dari kiri ke kanan: Saya, Dika, Ifa, Sandhi, Irma)


Setelah mengunjungi Komplek Candi Arjuna dan Kawah Sikidang, kami memutuskan untuk kembali penginapan untuk mandi, sarapan, dan check out. Sebelum check out kami sempat foto bareng mas-mas geng motor, hehe. Kemudian setelah check out dari penginapan, kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun.


CURUG (AIR TERJUN)
Setelah nanya-nanya ke penduduk setempat, katanya air terjun yang disebut Curug tersebut searah dengan Kawah Sileri. Kemudian kami menuju ke arah Kawah Sileri yang di pinggir-pinggirnya merupakan ladang-ladang penduduk. Kami memutuskan untuk bertanya kepada penduduk yang sedang bekerja di ladang karena Curug tersebut tidak terdapat pada peta wisata pegangan saya. Kata penduduk Curug tersebut masih sangat jauh dan jalan kearah sana agak susah. Jalan yang sedang kami lalui saat itu memang sangat jelek dan terjal. Saat melalui tanjakan-tanjakan terjal kami yang membonceng pun terpaksa harus turun dan mendorong motor. Jalanan tidak hanya jelek dan terjal, namun juga licin. Beberapa kali ban motor kami memutar ditempat atau bahkan meleset. Rasanya saat itu perjalanan sangat panjang dan jauuuuuuuh banget. Akhirnya kami sampai di perkampungan penduduk, dan bertemu dengan mas-mas penduduk gitu. Kami bertanya pada mas-mas tersebut tentang Curug yang ingin kami kunjungi. Kata masnya, “iya Curug itu bagus banget mbak, jarang wisatawan lokal yang mau kesana, biasanya yang kesana malah bule-bule gitu”. Dalam hati saya semakin ingin kesana, karena dalam bayangan saya Curug tersebut masih sangat virgin. Setelah bertanya mengenai rute kearah Curug, yang intinya kami harus trekking dulu melalui lading-ladang. untuk menuju kesana. Denger kata “trekking” saya justru semakin excited, hehe. Setelah memarkir motor kami di depan salah satu rumah penduduk, kami trekking ke arah Curug. Di tengah trekking kami menemukan banyak jalan bercabang dan hal itu membuat kami bingung karena tidak ada plang petunjuk satu pun. Ketika terdengar bunyi air terjun, kami semakin excited. Apalagi setelah terlihat ada air terjun di bawah kami, dan air terjun yang terlihat dari atas tersebut ada dua. Kemudian setelah berjalan lumayan jauh dan beberapa kali istirahat, kami sampai pada Curug tersebut. Namun kalau mau turun ke Curug tidak ada jalan setapak lagi, tinggal tanah berumput dengan kemiringan ± 75º-80º. Hehe, tapi meskipun takut kami tetap mencoba turun kebawah dan ternyata jalan tersebut luar biasa licin!. Kami memutuskan meninggalkan carrier serta ransel kami, dan Sandhi memutuskan tidak ikut turun ke bawah. Melalui medan yang licin dan dengan kemiringan yang ekstrim itu kami hanya berpegangan pada rumput yang seringkali tercabut saat menjadi pegangan. Akhirnya kami berlima sampai di bawah, dan kami melihat ada sepatu dan seragam sekolah anak SD. Lalu pikiran jadi jadi kemana-mana, mungkin memang ada anak SD yang dibuang atau terpeleset di sini (tapi kan nggak ada tengkorak atau tulang-belulang, hiiiii naudzubillah serem banget!). Hah, setelah menyentuhkan diri ke air sungai dari tumpahan Curug itu, hilang sudah pikiran serem saya itu karena airnya luar biasa segar. Saat itu kira-kira jam 15.30, lalu saya meminta Sandhi untuk melemparkan matras dan alat sholat untuk sholat di pinggir Curug. Tanah datar di pinggir Curug tidak luas, sehingga hanya muat untuk satu orang sholat, lalu kami sholat secara bergantian. Ternyata luar biasa khusyuk dan syahdu sholat disamping Curug! J. Kami tidak membawa kamera turun ke bawah karena susah sekali membawa barang turun dan kamera kan tidak mungkin dilempar kayak matras dan alat sholat, hehe. Sandhi yang menunggu di atas pun rela memfoto-foto kami dari atas (muaaaach, thx a lot deh! :*).

Ifa @jalan setapak di tengah ladang-ladang menuju Curug

@jalan setapak menuju Curug (dari depan ke belakang: Sandhi, Irma, Ifa, Dika)

@jalan menuju Curug (dari depan ke belakang: Sandhi, Saya, Wachid)

Sholat di pinggir Curug (dari kiri ke kanan: Wachid, Saya, Dika, Ifa, Irma)

Foto Curug yang diambil Sandhi dari atas

Meskipun belum puas berada di Curug tersebut, namun  target kami maghrib harus sudah sampai di perkampungan penduduk lagi. Ketika sampai di perkampungan penduduk lagi, ternyata dunia sangat sempit karena kami bertemu dengan salah satu kakak angkatan kami di kampus dengan 2 orang temannya. Mereka berencana ke Curug besok pagi, dan malam ini mereka nebeng nginep di rumah penduduk. Setelah ngobrol-ngobrol dan pasti ketawa-tawa, kami sholat maghrib di mushola kampung tersebut. Setelah kami semua selesai sholat maghrib, kami langsung memutuskan untuk pulang ke Jogja. Hiyaaa, dan dalam kegelapan kami menempuh jalan offroad tadi, haha. Tetapi kami-kami ini adalah orang yang rela menempuh jalan offroad untuk sebuah pemandangan bagus, hehe :p. Meskipun Curug ini paling jauh dibandingkan tempat wisata Dieng yang lain dan jalan menuju Curug yang luar biasa susah, namun dari semua tempat wisata di Dieng yang kami kunjungi Curug inilah yang paling berkesan :D. Dalam perjalanan pulang ke Jogja, saya baru ingat kalau tadi ketika dari atas tampak ada 2 air terjun, dan ketika turun kebawah hanya ada 1 Curug itu. Harus jalan kearah mana ya untuk menemukan Curug yang satu lagi??? Malamnya pun saya langsung bermimpi menemukan Curug yang satu lagi (ohh, mimpi yang sangat indah,,, :D). Meskipun tidak semua objek wisata di dieng kami kunjungi, tapi sudah sangat membuat kami refresh dan recharge





DIENG PLATEAU, Mei 2011

Bulan Mei lalu saya diajak jalan-jalan salah seorang sahabat saya yang bernama Erry. Waktu luang Erry saat itu memang bukan weekend, sehingga tidak semua teman bisa ikut, sedangkan saya sendiri saat itu memang sedang menjadi pengangguran. Selain karena sedang menganggur saat itu saya juga lagi sedih, sehingga saya langsung setuju dengan ajakan Erry. Daripada saya bersedih hati di rumah, kan mendingan saya jalan-jalan menghibur diri (hehe). Akhirnya kami memutuskan jalan-jalan berdua saja. Rencananya sih saya dan Erry tidak akan menginap di penginapan karena kami sama-sama sedang bokek, jadi mungkin akan nebeng nginep di rumah penduduk atau tidur di mushola (hehe). Erry memang belum pernah ke Dieng, sedangkan saya sudah hampir 2 tahun yang lalu terakhir kesana. Saya mencerikan pada Erry tentang objek wisata Dieng yang pernah saya kunjungi, dari beberapa objek wisata tersebut kami sepakat Curug lah yang menjadi prioritas. Mengingat jalan menuju kesana yang memakan banyak waktu dan medan yang berat untuk motor saya yang sedang butut-bututnya kami tidak yakin dengan kondisi motor saya yang sedang butut-bututnya, hehe. Namun, dengan pertimbangan karena sangat ingin kesana, kami tetap menjadikan Curug sebagai prioritas tempat yang akan dikunjungi di Dieng.

        Hari Kamis pagi kami berangkat dari Jogja (sebenarnya sih saat itu sedang hujan sangat deras, tapi kami tetap berangkat! Dengan bermotor lagi!) Setelah menempuh perjalanan ±3-4 jam sampailah kami di Dieng. Tujuan pertama adalah Telaga Warna, setelah membeli karcis di loket kami langsung masuk dan jalan-jalan disekitar Telaga. Saat itu saya mengambil rute jalan yang berbeda dari 2 tahun yang lalu saat ke Telaga Warna. Namun, rute yang kami ambil kali ini tidak semua merupakan jalan setapak dengan paving block, tapi setelah jalan paving block habis, berlanjut dengan jalan setapak tanah yang sangat becek karena baru saja diguyur hujan. Katanya Telaga warna airnya ada 3 warna, dan baru kunjungan kedua ini saya baru membuktikan kalau warnanya memang benar-benar ada tiga (hijau/torqouis pucat, biru tua, coklat). Selain melihat ketiga warna danau, saya juga melihat air danau yang sedang pasang (saat saya berkunjung 2 tahun yang lalu, air danau sedang surut) dan melewati pohon yang bentuknya unik. Kenapa saya bisa bilang bentuk pohon tersebut unik, karena bentuknya menyerupai orang yang sedang membungkukkan badan. Tidak lama kami berjalan-jalan disana, karena sesuai alokasi waktu yang mepet, kami harus jalan-jalan secara marathon (hehe!). Saking marathonnya sampai-sampai kami tidak sempat makan bekal kami. Setelah dari Telaga Warna kami memutuskan untuk ke Komplek Candi Arjuna.
Saya @ Telaga Warna
Erry @ Telaga Warna
Air Telaga Warna yang berwarna biru tua
Saya bersama pohon yang bentuknya unik (bentuk menyerupai orang yang sedang membungkukkan badan)


Setelah jalan setapak paving block habis berlanjut jalan setapak tanah yang becek


KOMPLEK CANDI ARJUNA
         Lagi-lagi karena keterbatasan waktu, kami jalan-jalan dan foto-foto dengan sangat cepat, hehe. Di Komplek Candi Arjuna kami hanya melihat-lihat sebentar, foto-foto, beli carica untuk oleh-oleh (di Komplek Candi Arjuna terdapat kios-kios yang menjual oleh-oleh khas Dieng), dan nebeng sholat ashar. Komplek Candi Arjuna belum banyak berubah dibandingkan 2 tahun lalu, tapi kalau tidak salah ada 1 candi yang bernama Candi Setyaki yang tampaknya baru saja berhasil berhasil dikumpulkan potongan-potongannya menjadi 1 candi yang utuh (kalau tidak salah 2 tahun yang lalu belum ada). Setelah sholat ashar di mushola dekat parkir di Komplek Candi Arjuna, kami memutuskan untuk langsung menuju Curug dan sebelumnya mampir di gardu pandang Kawah Sileri (sambil berharap semoga sebelum gelap kami sudah pulang dari Curug).

Pelataran Komplek Candi Arjuna

Candi Setyaki

KAWAH SILERI DAN CURUG
       Saat sampai di gardu pandang Kawah Sileri, kami hanya berfoto sebentar dan memang tidak berencana turun ke pinggir kawah karena keterbatasan waktu. Setelah itu kami langsung bergegas menuju Curug. 

Kawah Sileri (difoto dari Gardu Pandang)

Jalan menuju Curug lebih baik bila dibandingkan 2 tahun lalu, sebagian sudah di aspal dan disemen meskipun jalan tetap saja naik turun terjal, serta masih ada jalan tanah yang berbatu. Beberapa kali saya harus turun dari boncengan dan mendorong si Lebah (motor kesayangan saya) yang dikendarai Erry. Akhirnya sampailah kami di perkampungan penduduk, yang dulu tempat kami menitipkan motor. Setelah ijin untuk menitipkan motor kepada penduduk si empunya halaman rumah, kami bergegas trekking menuju Curug. Namun, sialnya saya benar-benar lupa rute kearah Curug apalagi banyak sekali jalan bercabang. Akhirnya setelah hampir gelap kami tidak juga sampai Curug, sayangnya kami harus memutuskan untuk kembali ke perkampungan penduduk lagi. Lalu kami memutuskan kembali ke jalan utama dengan melewati jalan terjal tadi (huhu, padahal nggak jadi sampai Curug). Setelah sampai jalan besar lagi, kami mencari mushola untuk sholat maghrib. Setelah sholat maghrib kami mencari tempat makan malam. Saat makan malam kami menimbang-nimbang enaknya mau gimana, mengingat mushola tempat kami sholat tadi bertuliskan “Berdasarkan kesepakatan pengurus RW mushola ini tidak boleh untuk menginap”. Kira-kira begitulah tulisan yang terpampang di mushola tersebut. Akhirnya secara impulsif, kami memutuskan untuk langsung kembali ke Jogja daripada keluar duit buat bayar penginapan (harap maklum ya, kami lagi bokek, hehe!). Bayangkan dalam sehari kami pulang pergi mengendarai motor Jogja-Dieng yang ditempuh hampir 4 jam perjalanan (sama aja 8 jam sendiri udah habis dijalan! :D). Dijalan pun kami merutuki sifat kami yang “tidak tau diri”. Udah tau badan juga udah mulai tua, udah tau motornya nggak layak buat perjalanan jauh apalagi buat medan berat, udah tau lagi bokek. Tapi kok ya tidak menghentikan kami buat jalan-jalan, hahahaha!. Setelah sampai Jogja, kami pun bersyukur karena si Lebah nggak mogok di jalan, secara rantai dan girnya udah dalam kondisi sangat parah :D.